Kunci Kedisiplinan Guru dan Pengaruhnya Dalam Pembentukan Akhlak Peserta Didik di Sekolah

Diposkan oleh Unknown on Sabtu, 13 Oktober 2012

Dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa, tidaklah cukup dengan hanya memiliki kecerdasan berpikir dan kemampuan intelektual saja, tetapi juga harus disertai dengan kesehatan mental dan budi pekerti yang luhur atau akhlak yang mulia.
Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa upaya untuk meningkatkan kecerdasan berpikir, pembangunan mental, budi pekerti atau akhlak mulia adalah tugas dunia pendidikan atau secara khusus tugas sekolah.

Dewasa ini, keberadaan sekolah benar-benar sangat diperlukan, karena sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan proses belajar mengajar untuk membimbing, mendidik, melatih dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan diantaranya adalah menjadi manusia yang berbudi pekerti atau akhlak yang luhur. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu : Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya tidak sedikit pelajar yang kerap kali menunjukkan perilaku yang tidak terpuji dalam kesehariannya. Kita sering mendengar banyaknya kasus tawuran antar pelajar, keterlibatan penggunaan obat-obatan terlarang, sex bebas di kalangan pelajar sekolah, terutama di kot-kota besar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pembinaan perilaku atau akhlak tidaklah mudah dilakukan dan harus ditangani dengan sungguh-sungguh.
Menurut Imam Barnadib (2003:3) bahwa watak yang tidak bermoral perlu dicegah kehadirannya dalam pergaulan manusia. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan upaya pembinaan jangka panjang dan harus dimulai sejak dini, antara lain mulai dari keluarga, kemudian dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Di lingkungan sekolah guru memegang peranan penting dalam proses pembentukan dan perkembangan akhlak peserta didik. Sebagai pendidik guru tidak hanya bertugas untuk menyampaikan mata pelajaran tertentu saja, tetapi juga dituntut untuk dapat membimbing, mengarahkan dan memberikan teladan yang terpuji sehingga dapat membantu menumbuhkan perilaku yang baik serta akhlak mulia pada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Guru pada idealnya harus dijadikan idola dan dihormati oleh peserta didik, maka guru harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menunjukkan perilaku yang baik, berdisiplin dan menanamkan nilai-nilai moral yang sangat penting bagi perkembangan kejiwaan siswanya. Perilaku guru akan memberikan warna dan corak tersendiri terhadap watak peserta didik di kemudian hari. Contoh teladan yang ditunjukkan oleh Guru akan lebih mudah melekat dalam perilaku siswa dibandingkan dengan pembelajaran secara verbal. Jadi guru harus memiliki akhlak baik dan menunjukkan sikap disiplin yang tinggi agar dapat menjadi panutan bagi anak didiknya, sehingga proses pendidikan yang dilaksanakan dapat berhasil sesuia dengan tujuannya.
Namun demikian, kita tidak dapat menafikan bahwa masih banyak guru yang tidak ambil peduli terhadap keharusan-keharusan tersebut, karena mereka tidak memahami dengan baik tugasnya sebagai pendidik. Banyak guru yang beranggapan bahwa jika proses pembelajaran di kelas telah selesai, maka selesai pula tugasnya, bahkan tidak jarang pula mereka mengabaikan tugasnya untuk mengajar. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut antara lain adalah Pertama, banyak yang menjadi guru karena motif ekonomi, yang diperlukannya adalah upah dari mengajar, kadang tidak ikhlas dengan gaji yang diterimanya, sehingga berusaha mencari tambahan dengan mengorbankan tugas utamanya sebagai pendidik, dan tidak mau tahu tengan tujuan pendidikan sebenarnya; Kedua, banyak guru yang mempunyai latar belakang pendidikannya belum keguruan yang menyebabkan kurang faham dengan etika keguruan; Ketiga, rendahnya sikap disiplin pribadi guru, kurangnya semangat dan rasa tanggungjawab untuk melaksanakan tugas, tidak adanya kecintaan terhadap pekerjaan sebagai pendidik dan masih adanya anggapan bahwa bagi anak sekolah dasar telah cukup dengan hanya mengajarnya membaca, menulis dan berhitung.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
  1. Tata tertib sekolah masih belum dijalankan dengan benar sehingga banyak guru yang melanggarnya.
  2. Kurang disiplinnya guru dalam mengajar sehingga berpengaruh terhadap siswa baik dari pengetahuan, sikap maupun perilaku sehari-hari.
  3. Masih adanya guru yang kurang paham dengan etika keguruan yang disebabkan guru tersebut bukan dari jalur keguruan yang syah.
  4. Pemahaman guru terhadap administrasi sekolah dan kelas masih kurang.
Dalam meningkatkan kedisiplinan dan sebagai bahan masukan bagi guru untuk dapat memberikan teladan yang baik bagi peserta didik  juga bagi sekolah dalam pelaksanaan disiplin untuk membentuk perilaku peserta didik yang terpuji, maka uraian selanjutnya akan disajikan defenisi 1) disiplin, 2) guru, dan 3) akhlak. Karena ketiga faktor tersebut sangat bertalian erat hubungannya antara kedisiplinan guru dan akhlak siswa.

A.  Disiplin
    • Pengertian Disiplin
  Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997:237) disiplin mempunyai arti:  1). Tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dll), 2). Ketaatan (patuh) pada aturan.
Ada dua pengertian disiplin yang dapat kita lihat dari pengertian dalam kamus tersebut. Pertama disiplin berlaku sebagai suatu sarana yang berupa tata tertib, peraturan atau norma, dimana aturan tersebut dibuat dan digunakan untuk dapat menciptakan disiplin sebagaimana dalam pengertian kedua yaitu sebagai suatu sikap mental yang menunjukkan adanya ketaatan atau kepatuhan pada peraturan-peraturan yang berlaku.
Mursal Tahir dalam Nurcholish (2004:134), mendefinisikan bahwa disiplin sebagai suatu bimbingan kearah perbaikan melalui pengarahan, penerapan dan pemaksaan.
Menurut Verhoeven dan Carrallo disiplin dari kata latin discipilus yang berarti siswa atau murid. Poerwadarminta mendefinisikan disiplin adalah “latihan watak dan batin agar segala perubahan seseorang sesuai dengan peraturan yang ada.
Sasaran Pembinaan dan pendidikan ialah individu manusia-manusia dengan segala aspeknya sebagai suatu keseluruhan. Semua aspek ini diatur, dibina dan dikontrol hingga pribadi yang mersangkutan mampu mengatur dirinya sendiri. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembinaan dan pendidikan pribadi ialah mencapai disiplin diri, untuk mencapai tujuan disiplin dibutuhkan sarana dan cara tertentu yaitu tenaga pendidik dengan metode pembinaannya masing-masing. 
Pengertian Disiplin dalam pedoman Gerakan Disiplin Nasional (Depdikbud, 1998:4), disiplin adalah ketaatan terhadap peraturan dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dilaksanakan secara sadar dan ikhlas lahir dan bathin, sehingga timbul rasa malu terkena sanksi dan rasa takut terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Sukardi (1995:150) menyebutkan pengertian disiplin adalah sikap mental yang mengandung kerelaan mematuhi ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas atau tanggung jawab. Pengertian disiplin juga dikemukakan oleh Cece Wijayu dan Tabrani Rusyan (1991:18) bahwa disiplin adalah sesuatu yang terletak di dalam jiwa seseorang, yang memberikan dorongan bagi orang yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana ditetapkan oleh norma dan peraturan yang berlaku.
Dari uraian beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa disiplin memiliki dua hakikat, yaitu:
  1. Adanya kemampuan dan motivasi dari dalam diri sendiri untuk mengendalikan diri, sehingga memiliki sikap taat dan patuh pada peraturan yang berlaku.
  2. Adanya kemampuan atau motivasi dari luar dengan sukarela, sadar dan teguh hati menerima tata nilai lingkungan guna menentukan perilakunya.
    • Macam-macam Disiplin
Menurut Instruksi Presiden No 12 Tahun 1982 tentang pendidikan politik bagi generasi muda (Sukardi, 1995:156), disiplin terbagi menjadi tiga macam yaitu a). disiplin pribadi, b). disiplin sosial dan c). disiplin Nasional.
  1. Disiplin pribadi adalah disiplin yang dimulai dari diri sendiri, diberlakukan terhadap diri sendiri, berkenaan dengan segala hal, baik yang sifatnya pribadi maupun yang berhubungan dengan manusia lainnya. Disiplin pribadi ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian individu, yaitu dalam pembentukan sikap hidup kerja keras. Di mana seseorang yang memiliki disiplin pribadi akan selalu mengerahkan seluruh kemampuannya secara optimal dalam rangka mencapai suatu tujuan yang diinginkannya.
  2. Disiplin sosial adalah ketaatan seseorang terhadap aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Disiplin social ini apabila telah dimiliki oleh warga masyarakat secara keseluruhan, maka akan dapat membantu terciptanya kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang dalam segala aspek kehidupannya.
  3. Disiplin nasional adalah berupa ketaatan terhadap hokum, norma-norma kewajiban yang telah ditetapkan di suatu Negara bagi seluruh warganya. Disiplin nasional sangat diperlukan dalam membina ketahanan nasional. Apabila seluruh warga Negara telah berdisiplin nasional, maka ketahanan nasional bangsa itu akan kuat, sehingga dapat dipastikan terpeliharanya kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini karena pembangunan nasional di segala bidang berjalan dengan lancar, aman dan sukses.
Ketiga macam disiplin nasional tersebut memiliki keterkaitan, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Disiplin nasional lahir dengan adanya disiplin social dalam seluruh lapisan masyarakat. Disiplin social hanya aka nada jika setiap warga Negara memiliki disiplin pribadi, dengan kata lain disiplin pribadi akan menumbuhkan disiplin sosial, dan keduanya merupakan bibit bagi pertumbuhan disiplin nasional.
    • Pembentukan Disiplin
Dalam konteks pembelajaran di lembaga pendidikan, pembentukan disiplin lebih mengarah kepada tingkah laku yang mengikuti seorang pimpinan seperti orang tua, guru atau orang dewasa lainnya, disiplin seringkali dikaitkan dengan saat di mana anak melanggar aturan atau kebiasaan pada lingkungan di mana ia berada.
Pada dasarnya, disiplin merupakan proses pengarahan atau pengabdian kehendak-kehendak langsung, dorongan, keinginan atau kepentingan kepada suatu cita-cita atau tujuan tertentu untuk mencapai efek yang lebih besar. Prijodarminto dalam Nurcholish (2004:138) membagi disiplin ke dalam tiga aspek yaitu:
Pertama, sikap mental (Mental attitude) merupakan sikap taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari latihan, pengendalian pikiran dan watak
Kedua, pemahaman yang baik mengenai sistem aturan perilaku, norma, kriteria dan standar yang sedemikian rupa sehingga pemahaman tersebut membutuhkan pengertian yang mendalam atau kesadaran, bahwa ketaatan akan aturan atau norma, kriteria dan standar tersebut merupakan syarat
Ketiga, sikap kelakuan secara wajar mewujudkan kesungguhan hati untuk mentaati segala hal secara cermat dan tertib.
Disiplin merupakan hasil pembinaan dan pendidikan yang melibatkan sejumlah Pembina dengan metode tertentu serta berlangsung dalam tempat dan waktu tertentu. Semua ini merupakan latar belakang terbentuknya disiplin diri. Mendidik seseorang untuk mencapai disiplin diri tidak berarti bersikap permisif terus menerus, dalam situasi tertentu pendidik harus bersikap tegas. Sikap seperti ini sering menimbulkan kebingungan, agar peserta didik tidak mengalami keraguan, pendidik perlu memberikan batas-batas tingkah laku yang diharapkan.
Hendaknya para pendidik tidak hanya mengajarkan peserta didik dengan pengetahuan konseptual tentang disiplin diri. Teori perlu dilengkapi dengan tindakan nyata, orang akan merasa lebih yakin jika dikatakan sungguh-sungguh tampak pula dalam perbuatan. Keteladanan diawali dengan hal-hal yang kecil dan sederhana sampai pada tingkat yang rumit. Konsistensi perkataan dan perbuatan pendidik akan menambah kepatuhan terdidik.

B.  Guru
    • Pengertian Guru
Guru “adalah tokoh yang paling utama dalam membimbing anak di sekolah dan memperkembangkan anak didik agar mencapai kedewasaan” (Poerwadarminta, 1984:72). Oleh sebab itu, hal yang pertama diperhatikan guru agar dapat menarik minat anak didik penampilan guru harus mampu menjadi seseorang yang berkesan dan berwibawa.
Sehubungan dengan itu, guru sebagai tenaga professional memerlukan pedoman atau kode etik guru agar terhindar dari segala bentuk penyimpangan. Kode etik menjadi guru yang memegang keprofesionalannya sebagai pendidik akan selalu berpegang pada kode etik guru. Sebab kode etik ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi itu sendiri (Sardiman; 2000:149).
Penampilan seorang guru sangat mempengaruhi sikap mental pribadi anak didik, karena guru merupakan teladan bagi anak didik, sehingga semua gerakan dan tindakannya akan diamati bahkan ditiru oleh siswa.
Menurut Poerwadarminta (1997:330); Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Disini guru diartikan sebagai orang yang mencari nafkah dengan cara mengajar atau memberikan pelajaran baik berupa ilmu pengetahuan maupun latihan atau ajaran lainnya yang berkenaan dengan akhlak atau budi pekerti.
Pengertian lain dikemukakan oleh Hery Noer Ali (1999:93) bahwa orang yang menerima amanat orang tua untuk mendidik anak itu disebut guru.   Disini Noer Ali berpendapat bahwa guru adalah wakil dari orang tua yang bertanggung jawab terhadap seorang anak yang dititipkan oleh orang tuanya di suatu lembaga pendidikan.
Menurut Ngalim Purwanto (1992:166) bahwa istilah guru sekarang sudah mendapat arti yang lebih luas lagi dalam masyarakat. Semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau kelompok orang dapat disebut guru, misalnya guru silat, guru mengetik, guru menjahit bahkan guru mencopet dan sebagainya.
Istilah pendidik juga dipakai oleh Sutari Imam Barnadib seperti dikutip Hery Noer Ali dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam (1999:81) bahwa pendidik adalah tiap orang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan.
Dari berbagai pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang telah dewasa yang memberikan ajaran, latihan dan bimbingan  sesuai dengan hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab terhadap si terdidik.
    • Tugas dan Peranan Guru
Uhbiyati (1997;71) mendefinisikan bahwa guru adalah “orang yang bertanggung jawab memberikan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan.
Seseorang yang dikatakan dewasa harus memiliki jiwa kepemimpinan dan dapat dicontoh oleh orang lain yaitu kepemimpinan dan dapat dicontoh oleh orang lain yaitu siswa. Bersifat sabar, disiplin, sopan dan ramah, hal yang penting adalah dapat mengendalikan gejolak emosionalnya, Orang dewasa akan senantiasa tidak emosional, tetapi lebih rasional, bijak dan realistis dalam berbagai tindakan dan perbuatannya.
Dengan melihat pengertian guru tersebut diatas, dapat dipahami bahwa guru tidak hanya bertugas untuk mengajar saja, akan tetapi bertanggung jawab terhadap tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan predikatnya sebagai seorang guru.
Peters (1991:23) menyebutkan bahwa ada tiga tugas dan tanggung jawab guru yakni: a). guru sebagai pengajar, b). guru sebagai pembimbing, c). dan guru sebagai administrator kelas.
Sebagai pengajar, guru bertugas merencanakan dan melaksanakan pengajaran sesuai dengan program yang telah ditentukan. Sebagai pembimbing guru bertugas memberi bantuan pada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Disini guru bertugas sebagai pendidik yang tidak hanya berkenaan dengan penyampaian ilmu pengetahuan, tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa. Dan sebagai administrator kelas, guru bertugas dan bertanggung jawab dalam ketatalaksanaan pada umumnya.
Adapun tugas guru menurut Ahmad D Marimba (1974:38) bahwa tugas guru adalah membimbing si terdidik serta mencari pengenalan terhadap si terdidik terhadap kebutuhan dan kesanggupannya. Salah satu tugas lainnnya yang penting adalah menciptakan situasi untuk pendidikan.
Yang dimaksud dengan situasi pendidikan adalah suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dengan hasil yang memuaskan.
Demikian banyak dan berat tugas yang diemban oleh seorang guru, namun demikian tugas tersebut merupakan suatu tugas yang harus diakui dan tidak disia-siakan oleh siapa pun.
    • Kedisiplinan Guru Dalam pembentukan Akhlak Siswa
Disiplin bagi guru merupakan salah satu ketentuan atau peraturan yang wajib diikuti  dan ditaati. Baik yang dilaksanakan tugas profesionalnya maupun dalam pergaulan sehari-hari
Guru merupakan figur peserta didik karena dapat membimbing siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung di dalam dan diluar ruang belajar, maka guru dituntut untuk selalu bertindak professional dalam penanaman, pengembangan, pelatihan nilai-nilai pengetahuan. Disiplin bagi guru merupakan syarat mutlak dalam mendidik sebagai konsekuensi dari peranan profesi tersebut. Maka guru lebih dituntut meningkatkan kompetensinya yang akan menentukan masa depan pembelajaran peserta didik.
Andreas Harefa memperjelas kedudukan disiplin dan peran guru kedalam sepuluh bagian:
Pertama, Guru adalah pendamping utama kaum pembelajar, orang-orang muda dan benih-benih kehidupan di masa depan dalam proses menjadi pemimpin. Kedua, Guru memainkan peran sebagai aktor/aktris pendamping pembantu yang membuat pemimpin Nampak “bercahaya”. Ketiga, Sebagai Aktor/Aktris utama sekaligus membesarkan hati para pembelajar untuk sementara menjadi “figuran”. Keempat, Guru adalah “Aktor Intelektual yang selalu ada di belakang layar perubahan. Kelima, Guru dirasakan kehadirannya, ia dikenal luar justru karena tidak menganggap penting lagi popularitas, kedudukan dan kekuasaan. Keenam, Guru memulai proses-proses yang bersifat transformasi total Ketujuh Guru sudah tidak lagi tertarik pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan kehidupan di dunia ini sebab ia mengarahkan hidupnya pada “kehidupan di dunia yang akan dating” Kedelapan, Guru menaruh minat pada penyelarasan ”Spiritualisasi hati nurani” dengan “rasionalitas akal budi” dan aktivitas. Kesembilan Kebutuhan utama sang guru adalah aktualisasi, orientasi-dekorasi diri Kesepuluh, Guru belajar dari dirinya sendiri, ketika pemimpin belajar pada semua orang dan terinspirasi oleh matahari, air atau alam semesta, sedangkan pembelajar belajar pada idolanya, tokoh-tokoh yang dikaguminya.
   Guru memegang peranan penting dalam pendidikan formal di sekolah. Sebagai pendidik dan pengajar guru langsung bersentuhan dengan kehidupan pribadi siswa yang beragam, guru sering dijadikan teladan oleh para siswa, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai tokoh identifikasi guru. Sebab itu guru harus dan perlu memiliki perilaku yang memadai untuk dapat mengembangkan diri siswa secara utuh.
Sebagai pendidik, guru tidak hanya bertanggung jawab terhadap penyampaian materi pelajaran atau ilmu pengetahuan kepada siswanya, tetapi lebih dari itu ia juga bertanggung jawab dalam perkembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai moral dan budi pekerti atau akhlak siswanya.
Guru dituntut untuk menjaga wibawanya dihadapan siswanya dengan cara disiplin dan menghindari diri dari segala hal yang dapat merusak citranya, karena perilaku guru tersebut dapat membawa pengaruh yang besar terhadap perilaku anak didiknya.
Berbicara mengenai kehidupan guru, Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan mengemukakan beberapa indikator untuk membina dan melaksanakan kedisiplinan dalam proses pendidikan agar mutu pendidikan meningkat, antara lain dengan melaksanakan tata tertib dengan baik, taat terhadap kebijakan yang berlaku, menguasai diri dan pandai mengintrospeksi diri.
Ada yang menyebutkan bahwa peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakat bangsa tersebut. Guru sebagai penanggung jawab pendidikan dalam masyarakat dituntut agar dapat menjaga wibawa, berdisiplin dan memperlihatkan akhlak yang baik sebagai contoh yang harus diikuti oleh para siswanya. Apabila teladan yang diberikan oleh guru tersebut baik, maka akhlak yang mulia akan tersebar dalam kepribadian para siswa. Dengan demikian masyarakat tersebut dapat dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki peradaban.
Peran penting guru dalam pembentukan perilaku atau akhlak peserta didik dapat kita lihat dalam pedoman penciptaan suasana sekolah yang kondusif dalam rangka pembudayaan budi pekerti luhur bagi warga sekolah (Depdiknas, 2003:24-25) : antara lain; …”Guru memiliki daya pengikat yang kuat bagi peserta didiknya. Apa yang dikatakan guru akan diingat dan dituruti oleh peserta didik karena yang dikatakan guru adalah kebaikan. Demikian juga apa yang dilakukan guru akan dicontoh oleh peserta didiknya.
Berdasarkan teori-teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa disiplin guru meliputi kondisi-kondisi yang teratur dalam pribadi guru dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diembannya sebagai tenaga pendidik. Dalam mendidik guru berkewajiban membina, mengembangkan ilmu pengetahuan dan bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik sesuai dengan ketentuan zaman.

C.  Akhlak
    • Pengertian Akhlak
Idris Muhammad (tth:186) mendefinisikan bahwa kata akhlak “berasal dari bahasa arab (akhlaqun), jama dari (kholaqa, yakhluqu, kholaqun). Yang secara etimologi berasal dari “budi pekerti, tabiat, perangai, adat kebiasaan, prilaku dan sopan santun” (Jamhari; 1969,59).
Ishak sholih dalam bukunya berjudul Akhak dan Tasawuf (1998;1) menyatakan bahwa: “kata akhlak yang berasal dari bahasa arab itu mengandung segi-segi persamaan dengan kata-kata khalik dan kata makhluk”. Ini berarti bahwa manusia diharapkan dapat melakukan hubungan yang selaras dengan penciptanya dan selaras dalam hubungan dengan sesamanya.
Kata akhlak banyak ditemukan dalam hadits-hadits nabi, diantaranya yang paling terkenal adalah :

عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إِنَما بعثت لأتمم صالح الأخلاق
“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (As-Suyuti:tth, 103).
Ibnu Maskawaih memberikan memberikan pengertian yang lebih simpel namun jelas yaitu : “Akhlak sebagai keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan sesuattu perbuatan tanpa hajat pemikiran dan tanpa diteliti”
Kalau Islam ibarat sebuah bangunan, maka syahadat adalah pondasinya. Shalat adalah tiangnya, dan akhlak merupakan dindingnya. Indah dan buruknya Ke-Islaman seseorang tergantung akhlaknya. Persis seperti bangunan. Untuk menghancurkan kaum muslim, musuh-musuh Islam tak perlu membongkar pondasinya  atau merubah tiangnya. Tapi cukup melepaskan dinding, jendela atau daun pintunya. Selanjutnya, mereka tinggal menunggu ambruknya bangunan itu. Begitulah Islam. Untuk menghancurkan kaum muslim, musuh Islam tak harus memurtadkan mereka atau melarang sholat. Mereka cukup dengan merusak akhlak generasi kaum muslim. Selanjutnya mereka tinggal menunggu kehancuran umat Islam.
Karenanya  tak heran kalo Ahmad Syauqi (Baradza;1992,1), dalam sebuah syairnya menyebutkan: “Sesungguhnya bangsa itu tetap hidup selama bangsa itu berakhlak, jika akhlak mereka lenyap maka hancurlah mereka”
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu menghiasi diri dengan akhlak yang baik. Bukan menganjurkan kepada perbuatan yang nista dan berakhlak bejat.
Batasan dalam mengerjakan baik dan buruk, tertera dalam nash-nash (al- Quran dan hadits) Berbeda dengan etika diluar Islam. Mereka meletakkan sistem penilaian baik dan buruk berdasarkan kepada kebiasaan-kebiasaan di sekeliling mereka yang mungkin bisa salah atau benar. Dalam buku Min Akhlak an-Nabi (sebagian akhlak Nabi),
    • Macam-macam Akhlak
 Adapun akhlak yang dilihat dari segi macamnya terbagi menjadi dua, yaitu :
      • Al-Akhlakul Mahmudah (ahlak baik atau terpuji): yaitu perbuatan baik    terhadap Tuhan, sesama manusia dan mahluk-mahluk lainnya.
Al-Ghazali dalam bukunya berjudul “ajaran-ajaran akhlak” (1980; 30-47) membagi akhlakul mahmudah menjadi empat macam:
  1. Berkata benar kecuali berbohong yang dibenarkan karena ada kebijakannya yaitu untuk mendamaikan dua orang yang berselisih, untuk orang yang mempunyai dua istri dan untuk kepentingan dalam peperangan.
  2. Perlunya kesabaran baik untuk kepentingan duniawi maupun akhirat.
  3. Perlunya tawakal, menyerahkan diri kepada Allah disini setelah berusaha.
  4. Ikhlas yang ditunjukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan yang berkenaan dengan kemasyarakatan.
Syech Mustafa Al-Ghalayani (1976; 44-58) menyebutkan dalam bukunya berjudul “Bimbingan Menuju Akhlak yang Luhur” menyebutkan bahwa Akhlakul Mahmudah terdiri dari 16 macam :
Berani maju ke depan, sabar dan tabah, ikhlas, harapan, berani membela dan mempertahankan kebenaran, berjuang demi keselamatan umum, berbuat kemuliaan (hati sanubarinya penuh dengan keperwiraan, mengjak lawan dan kawan untuk berlaku jujur dan lurus), waspada, kebangsaan (mempertahankan dan membangun keluhuran tanah airnya), kemauan yang keras (tidak mudah putus asa), benar dalam perbuatan, berlaku sedang (i’tidal), dermawan, melaksanakan kewajiban, dapat dipercaya, tolong-menolong, memperbagus pekerjaan, berusaha kemudian tawakal, percaya pada diri sendiri dan fanatik (berpegang teguh pada ajaran agama Allah).
Dari pendapat mengenai macam-macam akhlak mahmudah tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya akhlakul mahmudah “adalah segala perbuatan rohani dan jasmani yang dapat membawa ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan serta kejayaan dalam kesastraan lahiriyah dan batiniyah di dunia dan akhirat yang dapat memberikan dampak positif bagi dirinya, keluarganya serta lingkungannya.
      • Al-Akhlakul Madzmumah (ahlak buruk atau tercela): yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia dan mahluk-mahluk lainnya.
Adapun menurut Al-Ghazali bahwa akhlakum madzmuumah ada lima macam, diantaranya adalah:                          
  1. Sifat pemurah yang menggunakan kekuatan untuk menolak yang tidak disukai dengan melampaui batas. Adapun marah yang tidak melampaui batas (marah pertengahan) adalah kemarahan yang terpuji karena marahnya dikendalikan oleh akal dan agama.
  2. Sifat dengki (hasut) yaitu usaha untuk menghilangkan bentuk kenikmatan dari pihak musuhnya dan juga merasa senang terhadap penderitaan orang lain.
  3. Sombong, Ghozali membagi sombong dalam tiga macam, sombong kepada Allah, sombong terhadap para rasul dan sombong kepada sesame sesama manusia.
  4. Penyakit lidah (lisan) yang meliputi kesalahan, pembicaraan, bohong (dusta), ghibah (menjelek-jelekkan orang lain), memfitnah, munafik, lancang pembicaraan, menambah dan mengurangi serta menceritakan cacat orang lain.
  5. Ria, perbuatan berpura-pura agar dihormati dan disegani.
Syech Mustafa Al-Ghalayani dalam bukunya berjudul “Bimbingan menuju akhlak yang luhur” menyebutkan bahwa akhlakul madzmumah terdiri dari sepuluh macam, yaitu:
“Sifat Nifaq (plin-plan), berputus asa, sifat licik (penakut), bekerja tanpa perhitungan, lengah, tertipu oleh perasaannya sendiri, keroyalan, pemborosan, rindu kepemimpinan dan dengki atau iri hati”.        
Dari beberapa pendapat mengenai akhlakul madzmumah dapat disimpulkan pada dasarnya akhlakul madzmumah “adalah segala perbuatan rohani dan jasmani yang membawa kehinaan di dunia dan di akhirat”.
Setelah mengetahui bahwa yang menjadi obyek dalam pendidikan akhlak adalah perbuatan manusia yang disengaja, kemudian perbuatan tersebut ditentukan apakah perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan yang menentukan perbuatan tersebut baik atau buruk harus para ahlinya yang mengerti tentang ajaran agama dan ketentuan itu berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Sehubungan dengan hal tadi Ahmad Amin mengemukakan dalam bukunya kitab Al-Akhlak (tth: 1986,2). Bahwa obyek ilmu akhlak “adalah seluruh perbuatan manusia yang disengaja atau (al-af’al, al-insaniyah, al iradiyah)”.
Dari pendapat di atas tadi menunjukan dengan jelas bahwa obyek pembahasan ilmu akhlak adalah tentang perbuatan semua manusia untuk selanjutnya diberikan penilaian apakah perbuatan itu baik atau buruk.
Diantara perbuatan-perbuatan manusia yang mengacu kapada kebaikan diantaranya :
  • Al-Khoir, ini digunakan untuk menunjukan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Hal ini terdapat pada ayat yang berbunyi :
  وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
       
“Barang siapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”
  • Al-Mahmudah, perbuatan ini dikerjakan untuk menunjukan sesuatu yang utama sebagai sebab akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT.
  • Adapun perbuatan ini lebih menuju kepada perbuatan batin seperti yang dinyatakan pada ayat yang berbunyi:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
 
“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji’.
  • Al-Karimah, suatu perbuatan yang terpuji yang ditampakan dalam kenyataan hidup sehari-hari, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya.
  • Al-Birr, ini juga termasuk salah satu akhlak yang mulia karena perbuatan yang dilakukan berhubungan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dalam hal ini termasuk perbuatan yang baik yaitu yang digunakan sebagai sifat Allah dan sifat manusia.
Adapun sifat Allah maksudnya bahwa Allah akan memberikan balasan pahala yang besar pada manusia yang taat kepadanya sedangkan sifat manusia itu adalah ketaatannya kepada Allah dalam menjalankan segala perintahnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan yang mengacu kepada kebaikan menunjukan bahwa kebaikan dalam pandangan islam itu meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan di akhirat serta akhlak yang mulia.
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu maka kita harus melakukan perbuatan tersebut dengan tulus dan ikhlas semata-mata hanya untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT dan perbutan akhlak bisa dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan itu dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri bukan karena ingin mendapat pujian dari orang lain.
Setiap perbuatan  bisa dikatakan baik dan buruk ditentukan oleh perbuatan orang tersebut, terutama niatnya dan penilaian tersebut harus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Sebagaimana Ahmad Amin menyatakan bahwa hubungan akhlak “adalah memberi nilai suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya”.
Dengan demikian bahwa segala perbuatan harus didahului dengan niat, bila niatnya itu jelek maka perbuatannya itupun dikatakan jelek, sedangkan bila perbuatannya baik maka penilaiannya akan baik pula.
    • Faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak dan cara peningkatannya
Akhlak memiliki sebab-sebab yang dapat menjadikannya tinggi dan mulia, dan sebaliknya juga mempunyai sebab-sebab yang dapat menjadikannya merosot dan jatuh ke dalam keterpurukan. Di antara sebab-sebab yang menjadikan merosotnya akhlak adalah sebagai berikut:
  • Lemah Iman, lemahnya iman merupakan petanda dari kerendahan dan rusaknya moral, ini disebabkan kerana iman merupakan kekuatan (untuk membina akhlak) dalam kehidupan seseorang.
  • Lingkungan, lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat bagi perilaku seseorang. Kalau dia hidup dan terdidik dalam lingkungan yang tidak mengenal makna adab dan akhlak serta tidak tahu tujuan hidup yang mulia, maka akhlaknya akan rusak sebagai mana hasil didikan lingkungannya.
  • Kondisi tak Terduga, terkadang seseorang secara tak terduga mendapati kondisi yang menjadi sebab bagi berubahnya perilaku dan kehidupannya. Yang tadinya baik tiba-tiba berubah menjadi buruk, jahat, tak bermoral dan sebagainya. Di antara kondisi tak terduga tersebut adalah:
  1. Terkucil, keterkucilan terkadang menyebabkan seseorang berperilaku buruk, dadanya menjadi sempit dikarenakan rasa kecewa yang mendalam atau kurangnya kesabaran.
  2. Kaya, Seseorang yang baik dapat berubah akhlaknya menjadi buruk dengan sebab kekayaan, yaitu menjadi sombong dan buruk perilakunya.
  3. Fakir, Kefakiran sebagaimana juga kekayaan dapat menjadi pemicu bagi perubahan perilaku seseorang dari baik menjadi buruk. Mungkin karena merasa kedudukannya menjadi rendah, atau karena kecewa atas hilangnya kekayaan yang selama ini dimilikinya.
  4. Kesedihan, kesedihan yang dibiarkan berlarut-larut dalam hati akan menyebabkan hati terobsesi dengannya sehingga menyebabkan seseorang tidak tahan dan tidak sabar menanggungnya. Akibatnya dia lari kepada hal-hal yang buruk sebagai pelampiasan, sehingga dikatakan bahwa kesedihan itu seperti racun.
  5. Sakit, yaitu sakit yang menyebabkan perubahan tabi'at, sebagaimana juga perubahan pada anggota badannya. Maka akhirnya tidak lagi mampu untuk bersikap lurus dan tidak kuasa menahan berbagai penderitaan.
  6. Usia Lanjut, usia lanjut sangat berpengaruh terhadap berubahnya kondisi fisik atau anggota badan. Demikian juga terkadang berpengaruh terhadap akhlak seseorang, karena menurunnya kemampuan, kecantikan dan kondisi diri sehingga dia merasa lemah untuk bersikap sabar dalam menerima kenyataan.
  • Ujub, dari sikap ujub ini muncul berbagai akhlak tercela seperti sombong/ merendahkan orang/ takabbur/ besar kepala dan semisalnya. Dari kesombongan muncul sikap bangga, sok tinggi, hebat, ujub, hasad, keras kepala, zhalim, gila pangkat, kedudukan dan jabatan, senang dipuji.
  • Tidak Mengingkari Orang yang Berakhlak Buruk, membiarkan orang lain berbuat keburukan, memberikan toleransi dan tidak peduli terhadap mereka adalah bukan sebuah sikap yang baik. Bahkan itu merupakan kelemahan serta memberikan peluang kepada mereka untuk terus melakukan perbuatan buruk, bahkan merupakan sebuah andil dalam perbuatan buruk mereka.
  • Rumah Tangga, jika sebuah rumah tangga penghuninya membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak akan ikut terbiasa juga dengan akhlak tersebut. Sebaliknya jika sebuah rumah tangga tidak pernah mengenalkan dan membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak juga akan tidak tahu adab dan ketinggian moral.
  • Lupa Aib Diri Sendiri, takkala seseorang melupakan aib diri sendiri, maka dia tidak akan mengoreksi dan introspeksi diri. Dan hal ini merupakan salah satu sebab merosotnya ketinggian akhlak seseorang. Kerana lupa akan kekurangan diri sendiri adalah sebuah kekurangan.
  • Kekerdilan Jiwa (Rendah Diri), ketika jiwa seseorang kerdil maka dia tidak mampu untuk memenuhi berbagai macam hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya kerana merasa berat dengan itu semua. Oleh kerana itu dia mencari-cari alasan yang tidak benar atas kesalahannya dengan berbagai cara seperti berdusta, berkhianat atau bersikap munafik. Tak jarang juga melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang sebenarnya tidak bersalah.
  • Teman yang Buruk, ketika seseorang berteman dengan orang yang buruk perangai maka dia biasanya akan terpengaruh dengan temannya tersebut, dan ini merupakan sebab akhlak seseorang menjadi rendah. Berteman dengan orang buruk juga terkadang menjadikan tumbuhnya su'udzon (buruk sangka) terhadap orang baik-baik.
  • Peristiwa Kehidupan, salah satu sebab yang menjadikan akhlak seseorang rendah adalah terjadinya suatu peristiwa yang menyenangkan atau menyedihkan dalam kehidupan seseorang. Jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka dia akan menyikapi setiap peristiwa dengan benar. Dia akan bersyukur ketika mendapatkan kebaikan dan akan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan jika imannya lemah, maka dia akan sombong dan takabbur ketika meraih kenikmatan atau akan putus asa ketika tertimpa bencana.
  • Maksiat, di antara akhlak rendah yang diakibatkan oleh kemaksiatan adalah berupa hilangnya cemburu dan rasa malu, lalu disusul dengan berbagai perbuatan keji dan buruk lainnya. Di dalam kitab Ad-Daa' wad-Dawaa' hal 71-72 disebutkan, "Seseorang apabila semakin asyik dengan dosa, maka akan berkurang dari qalbunya rasa cemburu terhadap diri, keluarganya dan orang lain pada umumnya. Dan terkadang jika qalbu benar-benar lemah, maka keburukan tidak lagi dianggap sebagai keburukan. Jika telah sampai pada tingkat ini, maka berarti dia telah masuk pada pintu kebinasaan, bahkan amat banyak yang bukan hanya sekedar tidak menganggap buruk perbuatan buruk, namun lebih dari itu yaitu menganggap keburukan sebagai kebaikan.
  • Tabi'at (Watak Asli), ada sebahagian orang yang memang memiliki tabi'at/watak asli yang buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Dan tabi'at ini lebih mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.
  • Media Massa, salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan adalah munculnya berbagai media massa dan stasiun-stasiun televisi yang beraneka macam dengan menyiarkan acara yang merusak dan cenderung mengajak kepada kerendahan moral. Tidak sedikit masyarakat yang gandrung dan kecanduan dengan seorang artis atau acara tertentu, sehingga dengan tanpa ilmu ikut-ikutan terhadap perilaku mereka yang rendah. Adapun cara peningkatannya adalah dengan melakukan penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang untuk dan taat pada islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar