Menggunakan bahasa
yang tepat untuk berkomunikasi, adalah satu-satunya cara untuk mempererat
hubungan ayah dan anak. Sebagai orang tua, kadang kala kita bisa salah omong,
agar anak tidak merasa sedih, marah atau bingung.
Berikut beberapa contoh kekeliruan
kata-kata yang sering diucapkan para orang tua, diharapkan mereka bisa
mempunyai pilihan kata-kata yang lebih akrab dan hangat. Kalau begitu sikap dan
kalimat yang bagaimana harus dihindari?
Jangan mengganggu ayah sibuk
Ketika para
orang tua sedang sibuk, sering kali mengeluarkan perkataan seperti: “Jangan
mengganggu!” “Ayah sangat sibuk!” Dua kalimat itu kelihatannya sangat biasa,
tetapi bisa menjadi bagian pikiran dan tindakan seorang anak.
Menurut Suzette
Haden Elgin pendiri pusat penelitian bahasa Ozark, Negara Bagian Huntsville,
Amerika Serikat, informasi seperti ini akan membuat anak mera-sakan tiada arti
atau makna berbicara dengan Anda (para orang tua), karena Anda selalu mengusir
mereka pergi. Jika orang tua mendirikan karakter seperti ini ketika anak masih
kecil, maka ketika tumbuh de-wasa, kemungkinan besar dia tidak akan bercerita
kepada Anda permasalahannya.
Hendaknya para
orang tua ketika sedang konsentrasi mengerjakan sesuatu, atau sedang mengalami
tekanan yang sangat besar, Anda bisa sebelumnya merancangkan sebuah batasan.
Contohnya, Anda bisa berkata kepada anak: “Ibu harus menyelesaikan masalah ini,
oleh karena itu ibu ingin adik menggambar dengan tenang, nanti setelah ibu
selesai, kita akan berjalan-jalan keluar.” Tetapi yang harus diperhatikan,
seorang anak balita tidak mungkin bisa berdiam diri bermain sesuatu lebih dari
satu jam.
Jangan menangis dan ribut
Jangan
menangis! Jangan bersedih, seperti bayi yang baru lahir. “Sekarang, kita tidak
beralasan untuk takut.” Kalimat-kalimat seperti di atas, sering diucapkan para
orang tua kepada anak-anak mereka. Tetapi acapkali para orang tua lupa, seorang
anak balita selalu tidak bisa menyatakan gamblang perasaannya dengan
menggunakan kata-kata, mereka bisa menangis karena merasa sangat marah, atau
mereka benar-benar merasa ketakutan atau sedih. Dr. Debbie Glasser dari Nova
Sautheastern University di Fort Lauderdale Amerika Serikat beranggapan bahwa: “Mengatakan
‘Jangan’ kepada seorang anak, tidak bisa membuatnya merasa lebih baik, masih
bisa membuatnya merasakan perasaan yang dia ekspresikan itu tidak masuk akal,
atau salah memahami, mengira rasa takut serta sedih itu tidak diperbolehkan.”
Mengapa kamu begitu…
Menempelkan
label negatif kepada anak adalah perilaku yang menipu. Terkadang, anak mungkin
secara tidak sengaja mendengar pembicaraan orang dewasa: “Dia anak yang sering
membuat saya malu.” “Mengapa kamu begitu pelit terhadap Ketty?” “Mengapa kamu
begitu bodoh?”
Anak yang masih
belia tidak akan ragu untuk memercayai kata-kata yang mereka dengar, perkataan
yang tidak mengandung niatan apa-apa ini malah bisa membuat kepercayaan diri
mereka terlukai. Cara diskusi yang paling baik bagi orang tua adalah mengutarakan
suatu tindakan secara konkrit, untuk menggantikan kata-kata sifat yang
melukiskan karakter dari anak-anak mereka. Contohnya, “Ketika adik mengatakan
kepada semua orang jangan bermain dengan Katty, maka Katty bisa merasa sedih,
bagaimana kita membuat perasaannya lebih baik?”
Kamu harus seperti kakak
Membandingkan
anak dengan saudara atau temannya, berharap mereka bisa menjadi teladan bagi
anak itu, acapkali mendapatkan hasil sebaliknya, karena anak Anda adalah dia
sendiri, bukan kakaknya atau si Sam anak tetangga.
Orang tua
saling membandingkan anak-anak mereka, serta mencarikan sebuah patokan bagi
perilaku atau tahap perkembangannya merupakan suatu hal yang sangat wajar,
tetapi jangan membiarkan anak mendengar Anda sedang membandingkan dirinya
dengan orang lain. Membandingkan anak dengan orang lain tidak bermanfaat bagi
perubahan perilakunya, melakukan penekanan terhadap hal-hal yang mereka belum
siap atau hal-hal yang tidak senang mereka lakukan, mungkin bisa membuat anak itu
menjadi bingung, kepercayaan diri anak itu mengalami kekandasan, juga sangat
mungkin anak itu sakit hati terhadap Anda atau sengaja melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan niat Anda. Sebaliknya, para orang tua harus sebisanya
memberikan semangat kepada prestasi yang telah dicapai olehnya.
Ketika orang
tua menghayati dan mendengarkan suara hati anak dengan sepenuh hati, serta
menggunakan perasaan sebenarnya yang dituturkan anak, maka Anda akan mengajari
anak itu bagaimana ‘memahami perasaan orang lain’, hal tersebut juga akan
membuat anak itu belajar bagaimana mempergunakan perkataan untuk menyatakan
perasaannya. Pada akhirnya, perasaan anak yang ribut dan menangis jika
menjumpai masalah akan berangsur-angsur hilang, berganti dengan melukiskan
perasaannya sendiri.
Sebagai contoh,
orang tua bisa memberi kelonggaran bagi anak dengan mengatakan: “Ketika Jason
mengatakan tidak ingin berteman denganmu, hal ini pasti akan membuatmu
bersedih.” “Benar, ketika mereka memperlakukanmu bukan sebagai teman, emosi
yang timbul sangat menakutkan, tetapi dijamin saya tidak akan melepaskan
tanganmu.”
Bagaimana bisa kamu tak tahu…
Sama seperti
saling membandingkan anak, ejekan orang tua yang tidak sengaja juga mungkin
akan melukai anak. “Saya tidak percaya kamu melakukan hal ini! Apa kamu tidak
tahu!” Kata-kata tersebut mungkin mengandung arti seperti ini bagi anak: “Kamu
seorang anak yang menyebalkan, Anda selamanya tidak akan bisa melakukan sesuatu
hal dengan baik.”
Sebenarnya, mencoba dan kesalahan itu hanyalah satu proses dari pembelajaran, terkadang kata-kata mengejek tidak efektif, juga
tidak berguna. Jika para orang tua mengubah kata-kata yang mengandung ejekan
ini menjadi sebuah contoh yang konkrit, seperti: “Terima kasih, jika kamu
berbuat demikian, ayah akan lebih senang.” Mungkin lebih bisa diterima oleh
anak.
Bertengkar lagi, ayah pukul pantatmu
Proses orang
tua dalam mendidik anak mereka, jika menemui perlawanan dari anak, mudah sekali
mempergunakan sikap mengancam untuk meredakan perlawanan, tetapi biasanya sangat
jarang berhasil.
Menurut Murray
Straus sosiolog dari Universitas New Hampshire Amerika mengatakan: “Tidak
peduli Anda menggunakan disiplin yang mana, kemungkinan seorang anak berusia
dua tahun melakukan kesalahan yang sama dalam satu hari adalah 80%.” Walaupun
anak yang berusia lebih besar, juga tidak ada strategi disiplin yang mana bisa
segera berhasil untuk setiap kali. Karena itu, orang tua mengubah arah strategi, lebih bermanfaat daripada mengeluarkan
kata-kata ancaman memukul pantat.
Tunggu ayahmu kembali nanti ya
Ketika anak
melakukan kesalahan, segera ditangani akan meningkatkan efektivitas
kedisiplinannya. Disiplin yang tertunda sangat mungkin membuat anak itu
melupakan kesalahan yang dibuat. Dan menantikan hukuman yang diberikan oleh orang
yang ketiga, juga mungkin akan membuat anak itu salah paham akan mengalami
hukuman yang lebih parah, membuat orang yang ketiga itu berperan sebagai orang
jahat. Bersamaan, melemparkan tanggung jawab kepada orang lain juga mungkin
akan melemahkan kewibawaan Anda, membuat anak itu merasa: “Jika ibu tidak
bersedia melakukan sesuatu, mengapa saya harus menurut kepada dia?”
Cepat dikit! Jangan terlalu santai
Jika setiap
hari hiteris atau stomp, muncul sikap
yang tidak sabaran, bisa membuat anak merasa bersalah, tidak nyaman, tetapi
tidak akan merangsang anak itu untuk bertindak lebih cepat.
Paul Coleman
seorang dokter pengobatan rumah tangga, dalam bukunya yang berjudul “Bagaimana
berbicara dengan anak Anda” mengatakan: “Tidak peduli sesibuk apapun diri saya
pada pagi hari, saya tidak ingin meninggalkan potret wajah penuh kemarahan di
dalam benak anak. Tidak peduli terjadi masalah apapun, saya tidak akan
berteriak atau memelototkan mata, walaupun anak menumpahkan havermut atau
sebelum keluar rumah tidak menemukan benda yang akan dibawa.” Melalui cara yang
tenang membuat anak mempercepat langkah, lebih berguna dari pada berteriak
dengan sewenang-wenang.
Bagus sekali! Adik sangat pandai
Biasanya,
memuji itu adalah energi yang sangat positif, juga merupakan salah satu alat
yang paling efektif dari para orang tua untuk menyemangati anak. Tetapi pujian
yang dwi-makna dan disengaja, bisa membuat anak itu salah paham mengira
melakukan sebuah hal kecil saja sudah bisa mendapat pujian, mengabaikan kerja
keras sebenarnya yang telah dikeluarkan setelah mendapatkan pujian itu.
Karena itu para
ahli mengusulkan, para orang tua memberikan pujian kepada anak mereka harus
ditujukan pada perilaku konkrit anak itu, bukan anak itu sendiri, harus membuat
benar-benar mengerti mendapatkan pujian itu membutuhkan perilaku kerja keras
yang konkrit, meminum habis segelas susu sapi adalah suatu hal yang wajib
dilakukan seorang anak, tidak akan mendapatkan pujian.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar